Generasi jadul yang hidup di era tahun 1960-an, sudah pasti tahu atau bahkan pernah memainkan Hwa-Hwe. Ini merupakan sebuah judi lokal populer di kawasan Petak Sembilan, Jakarta.
Petak Sembilan sendiri berada di kawasan Glodok, Pancoran. Lantas, judi Hwa-Hwe meluas dab banyak dimainkan masyarakat di hampir seluruh Jakarta.
Bahkan, saking populernya judi Hwa-Hwe hingga dapat mengalahkan Lotto Djaja (dibaca Jaya) yakni judi “resmi” yang mana diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta di masa itu.
Jika kembali pada masa itu, praktik perjudian memang “dilegalkan” oleh Pemprov DKI Jakarta dibawah kendali gubernur Ali Sadikin periode tahun 1966-1977.
Pajak Judi Hwa-Hwe
Pada masa itu, judi Hwa Hwe sedang menjadi idola baru kaum kaya di Jakarta. Meski judi jenis ini hanya beberapa bulan bertahan namun pajak yang dihasilkan cukup signifikan.
Di mana, pajak judi dari Hwa-Hwe dapat membiayai perbaikan Lapangan Banteng dan juga terminal-terminal di dalam kota. Tak ketinggalan pengembangan Jalan Sudirman – Thamrin serta pembangunan taman kebudayaan Ismail Marzuki, di Menteng.
Diketahui, pajak dari Hwa-Hwee, Pemda DKI Jakarta bisa mendapatkan pemasukan pajak sebesar Rp 300.000 per hari atau jika dikalikan dalam sebulan mencapai Rp 9 juta. Sebuah angka yang cukup fantastis bukan dari pajak perjudian.
Kemudian, pajak tersebut menjadi salah satu modal bagi pemerintah membangun kawasan Jakarta menjadi lebih wah sebagai sebuah Ibukota negara.
Bahkan, judi Hwa-Hwee mampu menyebar ke kawasan lain seperti Karawang dan Cirebon, Jawa Barat. Menariknya, di Cirebon sampai ada juga seorang kepala desa yang mana menghimpun warganya untuk bermain Hwa-Hwee.
Protes Masyarakat Terhadap Judi Hwa-Hwe
Pada akhirnya kepopuleran judi Hwa-Hwee pun menuai protes berbagai kalangan. Sejumlah kalangan mahasiswa, organisasi politik, dan juga organisasi masyarakat meminta tegas kepada Gubernur DKI Jakarta melarang peredaran judi Hwa-Hwee.
Menanggapi protes panas tersebut, akhirnya Bang Ali pun mengajak berdialog mereka. Dalam dialog tersebut berjalan cukup alot antara kedua belah pihak.
Bahkan sang gubernur sempat melontarkan berbagai pertanyaan kepada para audiens kala itu yang menyangkut nasib kota Jakarta ke depannya.
“Bagaimana seandainya saudara-saudara menjadi Gubernur yang mana harus bisa mencukupi dan juga harus memberikan pelayanan kepada masyarakat ?”
Padahal kata dia droping dari pusat hanya mencukupi untuk bisa memenuhi kebutuhan gaji dan juga beras pegawai saudara.
“Apakah saudara-saudara akan begitu saja nrimo dengan hanya bisa mengharapkan droping dari pusat tanpa adanya mengembangkan usaha-usaha pemecahan berbagai masalah kemiskinan, sosial, pembangunan, pendidikan dan pelayanan yang layak kepada rakyat saudara?” sambung Bang Ali melansir pada Kompas, Rabu, 30 Oktober 1968, halaman 3).
Bang Ali pun mengakui apabila tidak terpaksa, Pemda DKI bakal menjauhi cara-cara menggali uang dari praktik perjudian, khususnya Hwa-Hwee.
Bahkan, pihaknya berjanji untuk segera memberantas Hwa-Hwee liar yang mana malah menyalahi prinsip lokalisasi perjudian yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh Pemprov DKI.
Tak lama setelah pertemuan sang gubernur dengan berbagai pihak. Pemprov DKI langsung tancap gas dengan melakukan berbagai penggerebekan dan penangkapan, semisal di kawasan Kwitang dan Bungur, Jakarta Pusat.
Dalam giat tersebut, petugas berhasil menyita dantara lain buku-buku judi, kupon Hwa-Hwee, dan juga sejumlah uang hasil praktik perjudian.
Selain itu, sebanyak 11 bandar judi Hwa-Hwee liar juga berhasil ditangkap. Dan pada sekitar pertengahan tahun 1968, akhirnya Pemprov DKI akhirnya resmi menutup praktik perjudian Hwa-Hwee di Jakarta.
Dampak Judi Hwa-Hwe
Bagi para pejudi yang keseringan bertaruh judi Hwa-Hwe, mereka menilai jika menebak angka Hwa-hwee ada seninya.
Dalam pikiran mereka, untuk bisa mendapatkan keberuntungan dalam berjudi, mereka bisa meminta bantuan kepada jasa Toapekong di kelenteng-kelenteng yang ada di Jakarta hingga Cibinong.
Namun, bagi pejudi yang kalah Hwa-Hwee banyak yang ”terganggu ingatannya”. Harta benda pun ludes untuk digunakan modal bermain judi di Petak Sembilan.
Bahkan, seorang pemilik bengkel di Tanah Abang dan juga pemilik warung di kawasan itu, pernah dibuat bangkrut gara-gara keranjingan judi Hwa-Hwee.
Namun anehnya, meski sudah mengalami kekalahan beruntung namun dirinya masih mempunyai semangat dan juga harapan jika suatu saat yakin bakal beruntung.
Beberapa bulan menjadi primadona judi di Jakarta, Hwa-Hwe akhirnya hilang karena Pemprov DKI Jakarta pada akhirnya menutup praktik judi tersebut.
Namun, praktik judi yang sudah mengakar kuat dalam budaya lantas masyarakat beralih kepada toto gelap atau beken dengan sebutan togel.
Dulu togel sendiri mengacu kepada tebak nomor skor pertandingan sepak bola. Selain itu ada juga Nalo atau Nasional Lotere. Selepas itu berganti nama menjadi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Itulah kisah perjalanan judi Hwa-Hwe yang pernah mewarnai praktik judi di Ibukota. Hingga kini, judi masih menjadi salah satu hiburan yang disukai masyarakat.
Penulis : Baims